MAULID AMALAN ULAMA MAKKAH MADINAH*

 

Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) Syekh Sulaiman ar-Rasuli asy-Syafii al-Khalidi رحمه الله تعالى dalam Tsamarat al-Ihsan fi Wiladati Sayyid al-Insan, menyebut:


Berdiri maulid bid’ah hasanah

Masuk kepada umumnya sunnah

Amalan ulama Makkah Madinah

Memungkiri dia jadi fitanah


Syekh Sulaiman ar-Rasuli merupakan alumni Makkah dan merupakan murid dari beberapa ulama di tanah suci seperti mufti mazhab Syafii Syekh Muhammad Sa’id Ba Bashil, Syekh Utsman as-Sarawaki, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Sayyid Ahmad Syattha al-Makki, Syekh Mukhtar ‘Atharid ash-Shufi, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.


Nukilan Syekh Sulaiman yang menyebut maulid sebagai amalan ulama Makkah dan Madinah sangat kontradiksi dengan statement para pendaku salafi zaman now yang sering membid'ahkan perayaan Maulid Nabi ï·º dengan mengambil contoh Makkah yang merupakan tempat kelahiran Nabi ï·º dan Madinah yang merupakan tempat dimakamkannya Nabi ï·º. Mereka menyebut kedua tempat suci tersebut tidak pernah ada yang merayakan maulid. 


Lantas benarkah maulid itu amalan ulama Makkah dan Madinah sebagaimana yang disampaikan Syekh Sulaiman ar-Rasuli atau justru di kedua tempat suci tersebut tidak pernah ada yang merayakan maulid sebagaimana sangkaan sebagian orang. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, mari buka kitab-kitab sejarah ketika negeri Hijaz masih memiliki qadhi / mufti tiap empat mazhab sebagaimana saat Syekh Sulaiman menuntut ilmu disana. 


Ada seorang ulama penjelajah bernama Syekh Ibnu Jubair al-Andalusi رحمه الله تعالى yang mendokumentasikan perjalanannya ke dalam kitab ar-Rihlah yang ia tulis di atas lautan pada hari Jumat, 30 Syawal 578 H. Saat menggambarkan tentang Makkah beliau menyebut:


Tempat yang berkah ini (rumah kelahiran Nabi ï·º) dibuka kemudian orang-orang memasukinya seraya mengharap berkah di bulan Rabiul Awal dan hari Senin di bulan tersebut. Di bulan dan hari inilah kelahiran Nabi Muhammad ï·º. Tempat-tempat yang suci tersebut dibuka semuanya. Ini adalah hari yang populer di Makkah selamanya.


Ulama sejarawan sekaligus penjelajah lainnya, Ibnu Bathuthah رحمه الله تعالى dalam Ar-Rihlah nya, menyebut:


Qadhi' Makkah banyak membagikan makanan di moment-moment tertentu, terutama ketika memperingati Maulid Rasulullah ï·º, di moment itu beliau menyuguhkan makanan kepada para Syarif Makkah, kepada para tokoh dan orang-orang miskin beserta mereka yang bekerja di Masjidil Haram dan semua orang disekitarnya.


Sementara itu, Imam Ibnu Dzahirah رحمه الله تعالى dalam Al-Jami' Al-Lathif Fi Fadhl Makkah, menyebut:


Sudah menjadi tradisi di kota Makkah di malam senin, pada tanggal 10 bulan Rabi'ul Awwal di setiap tahunnya bahwa Qadhi' Makkah dari madzhab Asy-Syafi'i melakukan persiapan untuk mengunjungi tempat yang mulia ini ba'da shalat maghrib dalam rangka menghadiri pertemuan besar antara tiga Qadhi' lainya (Hanafi, Maliki, Hanbali), kebanyakan yang hadir adalah para Fuqaha beserta orang-orang shalih, para bangsawan dengan membawa lampu dan lilin yang indah serta kumpulan masyarakat yang cukup banyak.


Al-‘Izz bin Fahd رحمه الله تعالى juga pernah mencatat suasana dan prosesi perayaan maulid di Makkah pada tahun 911 H / 1505 M. Saat itu masyarakat Makkah banyak yang menyertai Maulid dengan hajatan-hajatan pribadi sebagai bentuk tabarruk, seperti khitan, resepsi pernikahan, maupun akad nikah.


Perayaan Maulid ini merupakan acara resmi yang disponsori langsung oleh Syarif Makkah, yang termasuk dalam naungan Daulah Utsmaniyyah. Syarif mengundang semua elemen ulama dari berbagai madzhab untuk menghadiri dan memberikan nasihat kepada masyarakat di hari itu. Pada masa ini juga ada sebagian kalangan yang tidak sepakat dengan perayaan Maulid Nabi, menyebutnya sebagai bid’ah dan menolak undangan dari syarif untuk menghadiri acara tersebut.


Imam Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki رحمه الله تعالى dalam kitabnya al-Maulid asy-Syarif al-Mu'adzdzham, Syekh Ibnu Zahira al-Hanafi رحمه الله dalam al-Jami' al-Lathif fi Fasl Makkah wa Ahliha, ad-Diyabakri رحمه اللع dalam Tarikh al-Khamis dan Syekh an-Nahrawali رحمه الله dalam al-I'lam bi A'lami Bait Allah al-Haram, menulis tentang peringatan Maulid Nabi ﷺ di Makkah berikut:


Setiap tahun tanggal 12 Rabi`ul Awwal, selepas sholat Maghrib, keempat-empat qadhi Makkah (yang mewakili mazhab yang empat) bersama-sama orang banyak termasuk para fuqaha, fudhala` (orang kenamaan) Makkah, syeikh-syeikh, guru-guru zawiyah dan murid-murid mereka, ru`asa' (penguasa-penguasa), muta`ammamin (ulama-ulama) keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk pergi bersama-sama menziarahi tempat Junjungan Nabi ï·º dilahirkan. Mereka beriringan dengan melatunkan zikir dan tahlil. Rumah-rumah di Makkah diterangi cahaya pelita dan lilin. Orang yang turut serta amat ramai dengan berpakaian indah serta membawa anak-anak mereka sekali. Setiba di tempat kelahiran tersebut, ceramah khas bersangkutan Maulidin Nabi ï·º disampaikan serta kebesaran, kemuliaan dan mu'jizat Junjungan Nabi ï·º diceritakan. Setelah itu, doa untuk Sultan, Amir Makkah dan Qadhi Syafi`i dibacakan dengan penuh khusyu' dan khudu`. Setelah hampir waktu Isya`, barulah mereka beriringan kembali ke Masjidil Haram untuk menunaikan sholat Isya`.


Berikut gambaran suasana perayaan Maulid Nabi ï·º di Makkah pada tahun 1292H/1875M:


“Acara dimulai pada siang hari tanggal 11 Rabi’ul Awwal, ditandai dengan suara meriam sebagai pertanda akan digelarnya perayaan. Pada hari itu, para pengajar mulai mengisahkan sejarah kelahiran Nabi Muhammad ï·º. Setelah masuk waktu Maghrib malam 12 Rabi’ul Awwal, orang-orang mulai berkumpul dalam jumlah yang besar, para wanita pun turut datang, anak-anak juga ikut serta bersama ibu-ibu mereka, di jalan-jalan nampak para penjual jajanan dan mainan.


Setelah selesai shalat Maghrib, lentera-lentera dalam jumlah begitu banyak mulai dinyalakan. Orang-orang saling bersalaman dan menyapa satu sama lain. Di sebelah utara Masjidil Haram, seorang imam duduk di atas mimbar kayu, memunggungi Ka’bah dan menghadap para jamaah, di situ ia membacakan kisah maulid.


Di barisan depan, duduk Syarif Makkah dan perwakilan dari Turki Utsmani. Setelah selesai pembacaan kisah maulid, rombongan syarif bergerak bersama para punggawa yang membawa lentera-lentera terang menuju Pasar Qasasiyah, melewati pasar Al-Layl, hingga sampai di bangunan kubah masjid di Syi’ib Ali.


Disitulah tempat dimana Rasulullah ï·º. dilahirkan. Dan dihadapan rombongan ini, berdirilah Yasir al-Rays, salah seorang pembesar muadzin dan ahli falak Masjidil Haram, disenandungkanlah nasyid-nasyid pujian bagi Rasulullah ï·º. Rombongan ini memasuki ruangan tempat kelahiran Nabi Muhammad ï·º, dibacakanlah beberapa bagian sejarah beliau, kemudian mereka shalat berjama’ah.


Seluruh prosesi ini memakan waktu kira-kira dua jam dari waktu maghrib. Kemudian pada malam harinya digelar hiburan kesenian Samar, sebagian orang kemudian berbincang-bincang di kedai-kedai kopi, orang-orang sufi berkumpul membentuk lingkaran-lingkaran dan mulai membaca qasidah-qasidah seperti Burdah, Hamzawiyah, dan syair-syair pujian yang lainnya.”


Perayaan Maulid Nabi ï·º di Hijaz, khususnya Makkah dan Madinah saat ini sudah tidak diadakan secara besar-besaran lagi sejak berkuasanya pemerintahan Dinasti Sa’ud atau yang secara resmi bernama ‘Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah’ (Kingdom of Saudi Arabia). Pemerintahan Bani Sa'ud memiliki pandangan keagamaan yang sangat sensitif terhadap berbagai macam petilasan, dan serta melarang berbagai perayaan yang dianggap bid’ah.


Tempat kelahiran Nabi Muhammad ï·º yang dahulu menjadi pusat perayaan Maulid pun dihancurkan kubahnya, tidak boleh dijadikan masjid, kemudian digunakan sebagai fasilitas umum mulai tempat menambatkan kuda sampai jualan ternak. Atas protes beberapa kalangan, tempat itu kemudian dijadikan perpustakaan agar bisa lebih diurus dan dikelola dengan baik.


Meski demikian, masih banyak titik komunitas-komunitas masyarakat muslim di Makkah maupun Madinah yang tetap mengadakan acara-acara dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad ï·º.


Salah seorang ulama Makkah yang wafat pada tahun 2004, Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani al-Makki رحمه الله تعالى berkata:


Mengagungkan Sayyidina Nabi ï·º itu disyariatkan, dan berbahagia merayaan hari kelahiran Rasulullah ï·º melalui cara menunjukkan rasa kegembiraan dengan membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat Nabi ï·º, serta memuliakan fakir miskin, adalah menunjukkan rasa kegembiraan dan rasa syukur yang paling nyata atas Rasulullah ï·º.


Abuya juga menyebut:


Tidak layak seorang yg berakal bertanya "Mengapa kalian memperingati maulid?". Seolah ia bertanya "Mengapa kalian bergembira dengan kelahiran/adanya Nabi".


Perayaan Maulid Nabi ﷺ di Nusantara khususnya di Sumatra sejak zaman dahulu sering diperingati dengan "Barzanji" yang merujuk kepada kitab Maulid al-Barzanji yang ditulis oleh Syekh Ja'far bin Hasan al-Barzanji al-Husaini al-Madani رحمه الله تعالى, mufti Syafii di Madinah yang wafat tahun 1177 H.


Seorang tokoh dari Maghrib berkomentar tentang maulid al-Barzanji:


Cukuplah bagimu bahwa (kitab-kitab maulid) tidak dibaca di Haramain al-Syarifain (Makkah-Madinah) selainnya (maulid al-Barzanji ini). Dan menurut mereka (penduduk Makkah-Madinah) pembacaan maulid al-Barzanji tidak khusus dibaca di bulan Rabiul Awwal, bahkan dibaca sepanjang tahun. 


Umumnya saat membaca Barzanji, ketika tiba pada bacaan "Nabi Lahir" jamaah serempak berdiri marhaban untuk menghormati Nabi Muhammad ï·º. Hal ini juga marak di Minangkabau hingga mendapat respon keras dari ulama kaum Muda yang menyatakan bahwa berdiri Maulid merupakan Bid'ah yang harus dicegah. 


Di kalangan kaum Muda lahir risalah, seperti kitab Aiqazul Niyam (Syekh Abdul Karim Amrullah) dan beberapa artikel dari Majalah di Padang. Sedangkan di kalangan kaum Tua lahir kitab Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan (Syekh Sulaiman ar-Rasuli) dan Burhanul Haq, berikut Risalah Mau'izhah wa Tazkirah (Syekh Khatib Ali), tentunya juga artikel-artikel dalam Majalah PERTI (organisasi yang didirikan di Sumatra Barat pada 5 Mei 1928 oleh beberapa ulama alumni Makkah yang bermadzhab syafii).


Dalam kitab Tsamaratul Ihsan, Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang رحمه الله تعالى menegaskan bahwa berdiri Maulid merupakan perkara Sunnah. Syekh Sulaiman diantaranya menulis:


Ditambah sya'ir wahai jauhari 

Maksud menerangkan perkara berdiri 

Dalam Maulid waktu kenduri 

Banyak selisih ahli negeri


Khabar Maulud setelah sudah

Kita tuliskan mana yang mudah

Kepada perdirian kita berpindah

lalah sunat banyak faedah


Tatakala sampai bacaan kita

Zhahir junjungan bunyinya kata

Hendak berdiri kita serta 

Ta'zhim ikram niat semata


Salah seorang murid al-Quthub al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf Jeddah yaitu Sayyid al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz رحمه الله تعالى pernah berkata:


Tidak akan tahu hakikat keutamaan Maulid kecuali orang yang telah tahu hakikat keutamaan dan kemuliaan Insan yang dilahirkan di bulan Maulid.


*Penulis : Rozal Nawafil, S.Tr.IP (Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif PB KMTI)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar