PERTI DALAM SEBUAH MEMOAR

 


Diakui atau tidak, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) hidup sebagai memoar di dalam ingatan kolektif jamaahnya. Ia yang hidup di masyarakat sebagai kultur dan eksis sebagai ormas tak hendak menjadi ormas semilitan Muhammadiyah ataupun secerlang NU. Bila dua ormas keagamaan terbesar itu mengambil peran penting dalam perjalanan bangsa ini dan pembangunan manusianya, ormas Perti selama puluhan tahun sibuk dengan urusan rumah tangganya, dengan retakan yang menjalar cepat pada tembok. 


Pasca G30S/PKI pada 1965, pengambilalihan kepemimpinan secara penuh oleh Buya Rusli berbuntut perseteruan di dalam tubuh Perti. Di seberang sana ada Buya Siraj yang jadi seterunya. Di tahun-tahun setelahnya, rumah itu terpapas dua. Kedua kubu menceburkan diri ke pusaran politik. Perseteruan makin menjadi-jadi. Seruan Inyiak Canduang, sang pendiri, untuk kembali ke khittah atau kembali ke akar, kembali ke pangkal jalan, yaitu agar Perti kembali menjadi organisasi pendidikan dan dakwah non politik, tidak serta merta membuat keterbelahan menjadi bertaut. 


Usai Pemilu 1971, dua kubu satu tubuh itu meraih empat kursi di parlemen, masing-masing dua. Syahwat politik para petingginya membuat ormas yang telah bertransformasi menjadi gerakan politik ini rupanya tak hendak surut, jangankan padam. Kedua kubu memilih jalur aspirasi politik melalui dua parpol besar, Golkar dan PPP pada 1973. Syahwat politik dan dan godaan kekuasaan ini tak pelak membuat kedua kubu tak hampir-menghampiri hingga 15 tahun berselang. Untunglah, pada 1988, Ketum DPP Perti saat itu, dengan direstui oleh rais 'am DPP Perti, Buya Rusli Abdul Wahid memutuskan untuk pindah jalur, hengkang dari panggung politik praktis untuk mengonsentrasikan diri kembali di jalur semestinya, keagamaan. Begitupun PB Tarbiyah pada Munas di Jakarta tahun 2005 juga memutuskan tidak lagi berafiliasi politik secara kelembagaan.


Namun, apa hendak dikata, sudah bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak, kedua kubu tetap tidak kunjung bertaut jadi satu. Baru pada 2016 kedua kubu ini akhirnya berdamai, perseteruan diakhiri, dan tidak lagi ada kubu-kubuan setelah itu. Dari 1928 sampai 2016 Tarbiyah-Perti praktis tidak menghasilkan apa-apa yang akan dikenang sebagai tonggak sejarah pembangunan bangsa dan masyarakat. Kalaupun jamaahnya atau tokoh-tokohnya tidak sedikit yang menjadi tokoh dan memegang peranan kunci dalam berbagai kebijakan strategis nasional, harus diakui itu bukanlah prestasi organisasi. 


Di tahun-tahun ketika Muhammadiyah membangun sekolah-sekolah hingga jauh ke pelosok terpencil, kedua kubu yang terbelah itu justru membiarkan madrasah-madrasah dan pondok pesantren yang menjadi basis dan lembaga binaannya bagai ayam kehilangan induk. Dan dosa kolektif itu tentu tercatat dan dapat tempat khusus—sebagai contoh gagal—di hati generasi penerus mereka. Jargon kembali ke khittah yang segurih gula-gula itu sampai hari ini, kira saya, belumlah menemukan bentuk konkrit dan terang-benderang, sebenderang dan sestrategis langkah Nahdlatul Ulama.


Madrasah-madrasah dan pondok-pondok pesantren berlabel Tarbiyah Islamiyah tetap eksis hingga hari ini sebagai "anak ayam" di dalam "kehilangan induk" mereka; ada yang lahir, ada yang mati, ada yang berkembang, dan ada yang megap-megap menunggu pudur. Jamaah-jamaah fanatik di surau-surau Perti tetap ber-qunut dan mendirikan tarawih 20 rakaat, Kaji-kaji Tarbiyah tetap rutin didaras dan didakwahkan. Ini menjadi bukti bahwa Tarbiyah Islamiyah sebagai kultur massa masih tetap berkembang-biak dari generasi ke generasi. 


Yang menghangatkan hati dan membuat optimis di usia Perti ke-95 ini, anak-anak muda jebolan surau, madrasah dan pondok pesantren Tarbiyah Islamiyah, tunas sebenarnya dari keberlangsungan hidup ormas ini kelak, mulai bangkit; halaqah-halaqah diskusi dan mengaji digelar di banyak tempat dan kesempatan, daring maupun luring; ulama-ulama muda pilih tanding produk surau dan madrasah tarbiyah sudah tidak bisa "dihitung dengan jari" lagi; kegelisahan anak-anak muda alumnus surau dan madrasah mengenai soal-soal keummatan yang mewujud dalam berbagai diskusi dan kegiatan adalah geliat lain dari bakal bangkitnya satu generasi Perti di masa depan, generasi yang optimis, generasi yang—mudah-mudahan—tidak praktis dan oportunis; generasi yang tahu betul bagaimana menghidupkan organisasi dan bukan menghidupi diri di dalam organisasi.


Selamat milad ke-95, Perti tersayang.


***


Penulis : Ust. Akhyar Fuadi (Pimpinan Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah At-Taqwa Canduang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar